24 Mei 1999
Hari itu, Aku begitu sengsara dan bahagia. Hari itu, hari
dimana rasa sakit berada pada puncaknya. Hari itu, tepat dimana 2 detak jantung
dipertaruhkan. Hari itu aku berjuang, Aku berjuang untuk melahirkan sebuah
nyawa yang telah siap menghadap fana. Tepat pukul 07.00, apa yang ku nanti
telah hadir, sebuah tangisan pertanda kehidupan baru dimulai. Saat itu, batinku
terhadap Tuhan berkata “Aku siap menjadikan titipanmu sosok yang berguna di
masa depan”. Belum genap rasa sakitku
hilang, telah ku putuskan “Ertia” sebagai sebutan yang akan mengantarnya dalam
menjalani kehidupan kelak.
Beberapa tahun bergulir, Rambutnya mulai tumbuh panjang
hingga membangkitkan semangatku untuk
menatanya, menghiasnya. Senyumnya begitu lepas ketika ku cium kedua pipi dan
keningnya. Putri kecilku, inilah saat dimana aku sama sekali tak ingin melepasnya. Saat itu, aku
menginginkannya untuk selalu berada di dekapku, di dalam perlindunganku, Hingga
tak ada seorang pun yang dapat menyakitinya. Dan saat itu pula, aku sadar ia
perlahan telah tumbuh dan tak lama lagi, akan beranjak pergi.
Waktu terus berjalan, setiap hari ia harus meninggalkanku
pagi-pagi buta. Tak ada lagi cium pipi ataupun kening. Yang tersisa hanyalah
cium tangan dan salam singkat hingga kemudian ia berlari menghampiri sekumpulan
anak manusia yang terlihat dekat dan jauh lebih mengerti akan perasaannya. Saat
itu, saat dimana aku berusaha meyakinkannya bahwa aku bisa mengerti, bahwa aku
bisa menerima dunianya yang baru. Saat itu akupun berkata padanya “Memang sudah
waktunya, nak. Tak apa, Asal kau tetap menjaga diri dan selalu ingat Allah”
Suatu waktu, ia pulang bersama teman lelakinya. Sorot
matanya tampak berbeda dari biasanya. Saat itu, aku tahu bahwa ia akan berjalan
semakin jauh. Saat itu, aku teringat kembali akan sosoknya yang masih erat
memelukku ketika bertemu dengan badut jalanan, akan sosoknya yang menangis
ketika aku tak berada didekatnya, akan ia yang bertanya warna apa itu, angka
berapa itu, dan hewan apa itu. Dari balik pintu ku melihatnya, tawanya begitu
lepas. Putri kecilku, Ia begitu menikmati dunianya bersama lelaki yang ia
cintai. Saat itu aku berdoa “YaAllah kekalkanlah kebahagiaan putriku, meski
kebahagiaanya bukan lagi karena aku, jauhkanlah ia dari orang-orang yang ingin
menyakiti hatinya”. Meski aku mengerti lambat laun ia akan merasakan sakit
hati, dan kemudian sadar ia telah jatuh cinta kepada orang yang salah.Keputusanku
tetap membiarkannya bahagia, meski aku tahu kebahagiaan itu hanya sesaat
Tiba saat yang kutakutkan,ia tidur dengan ber-urai air
mata,kebahagiaannya telah pergi,ia membenci orang yang semula ia cintai,tepat
dugaanku kini ia merasakan sakit hati,Saat itu aku marah,sedih,ingin rasanya
aku membalas sakit hati putriku,namun kekecewaanku hanya tertuang dalam diam
dan doa.Aku hanya bisa menghiburnya,memberi semangat agar ia menemukan
kehidupan yang baru.
Putriku semakin dewasa, inilah babak terakhir bagiku untuk
membahagiakannya, ia sibuk menata masa depan,kerap pulang saat langit sudah
gelap,sulit baginya menyempatkan waktu untuk sekedar makan di rumah,hanya rasa
prihatin yang menemaniku menyaksikan makanan yang telah ku buat untuknya
terabaikan begitu saja. Tak ada lagi waktu luang di awal minggu, Ia menjadi
begitu sibuk, dunianya kini ialah kerja keras untuk meraih impiannya. Saat ini,
aku mulai mengerti bahwa ia mulai memikirkanku, ia mengerti bahwa kesuksesannya
ialah kesuksesan terbesar dalam hidupku, keberhasilannya kelak merupakan wujud
dari keberhasilanku menjaga amanah Tuhan. Saat ini, aku meridhoi semua kerja
kerasnya demi menggapai impiannya, tak banyak yang dapat ku lakukan melainkan
menyebut namanya di dalam setiap doaku, Aku menginginkannya Sukses, aku
menginginkannya menjadi manusia yang berguna, aku menginginkannya menangis
dalam keberhasilan yang telah dicapainya ketika nyawa ini telah terpisah dari
raga kelak.